Sabtu, 17 Januari 2015

Sejarah Keraton Kacirebonan

 Setelah Pangeran Aria Cirebon meninggal, Keraton Kacirebonan Awal oleh Belanda ditiadakan.  Pada abad ke-18, Belanda semakin sewenang-wenang ikut campur dalam birokrasi di keraton Cirebon.  Selanjutnya pembagian kekuasaan di Cirebon itu sampai tahun 1768 M tidak mengalami perubahan.  Pembagian yang dilakukan VOC mengenai simbol kekuasaan, tanah-tanah sesuai ukuran luasnya, dan jumlah daerah dengan cacahnya sampai akhir abad ke-18, menimbulkan perselisihan di kalangan penguasa-penguasa di Cirebon, dan banyak para pangeran dan ulama yang keluar dari lingkungan Keraton karena tidak suka dengan sikap Belanda.

Pada masa Kasultanan Kanoman IV yang dipimpin oleh Sultan Khaeruddin Awal, Belanda terang-terangan melibatkan diri dalam urusan pemerintahan, dan menyebarkan budaya-budaya yang dilarang dalam agama, seperti berdansa dan minum-minuman beralkohol.  Qodi Kasultanan Kanoman, Kyai Muqoyyim (pendiri Pesantren Buntet) mengundurkan diri dan memilih keluar dari lingkungan keraton.  Ia membentuk kekuatan dengan mendirikan pondok-pondok di pedalan sebagai sikap perlawanan terhadap Belanda.

Setelah Sultan Khaeruddin wafat (1798), putranya yang bernama Pangeran Raja Kanoman (Pangeran Mohammad Khaeruddin II), melihat keadaan keraton yang semakin kacau, dan bangsa Belanda semakin merajalela, campur tangan dalam berbagai segi, baik menyangkut kasultanan maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, sehingga beliau memilih pergi meninggalkan keraton dan bergabung dengan gurunya, Kyai Muqoyyim (yang lebih terkenal dengan sebutan Mbah Muqoyyim) di Buntet.  Pangeran Raja Kanoman tidak dinobatkan menjadi Sultan di Keraton Kanoman oleh Belanda karena Pangeran Raja Kanoman dianggap sangat berbahaya dan membangkang.  Belanda memilih menobatkan Pangeran Abusoleh Imanuddin.  Semenjak itu rakyat Cirebon memberontak dan terjadi kericuhan-kericuhan, rakyat meminta agar Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan.

Perlawanan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di daerah Cirebon saja, melainkan meluas juga ke wilayah Kabupaten Karawang (yang pada waktu itu beribukota di Kandanghaur), di Sumedang arah timur-laut, Palimanan, Lohbener, dan Indramayu. 1Perlawanan dipimpin oleh Bagus Rangin,  yang terkenal dengan nama Perang Kedondong. Mereka merasa tidak puas dengan perlakuan Belanda yang terlalu memberatkan rakyat dan mismanajemen/salah urus dalam mengelola pemerintah kolonial.2


 S.H. Rose selalu selaku Residen Cirebon pada waktu itu dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang menyebarluaskan desas-desus sehingga rakyat membenci pemerintah Belanda ialah Pangeran Raja Kanoman. untuk mengembalikan keamanan di daerah Cirebon harus dilakukan penangkapan terhadap mereka yang dianggap oleh Belanda sebagai perusuh. 3


Pada waktu pembuangan Pangeran Raja Kanoman ke penjara Victoria Ambon, Belanda menganggap permasalahan sudah selesai, karena salah satu tokoh utamanya tidak ada lagi. Tetapi tindakan tersebut malah membuat rakyat semakin berontak, perlawanan semakin besar. Dalam pemberontakan tersebut para ulama mendesak dan menginginkan agar  Pangeran Raja Kanoman dipulangkan dari tempat pembuangannya, serta menuntut supaya Pangeran Raja Kanoman diangkat sebagain Sultan Cirebon. Perlawanan tersebut dinamakan Perang Santri yang terjadi pada tahun 1803-1806 M. 

Akhirnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon pada tahun 1808 M. Setibanya di Cirebon, Pangeran tersebut tidak pulang ke keraton, tetapi menetap di Blok Lebu Kampung Sunyaragi, dekat Gua Sunyaragi. 

Pada tanggal 13 Maret 1808 M, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan dengan gelar Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II sebagai Sultan Kacireboanan.